Sama-sama milik Universitas Gadjah Mada. Sama-sama pula dikelola oleh universitas. Namun, asrama mahasiswa UGM yang terletak di Karang Gayam Dp. I Dn. 8 No. 01 Yogyakarta memiliki kisah yang lebih unik bila dibandingkan dengan riwayat dua asrama mahasiswa UGM lainnya: Dharma Putra dan Ratnaningsih.
Asrama Cemara Lima, demikian warga UGM menyebutnya. Memang demikianlah nama yang dilekatkan kepadanya, seperti tercantum dalam dokumen resmi UGM. Seperti halnya Dharma Putra dan Ratnaningsih, pembangunan Asrama Cemara Lima juga tidak dilakukan oleh UGM. Asrama ini dibangun dengan dana bantuan presiden atau yang populer dengan istilah Banpres pada tahun 1982.
"Pembangunan asrama ini dimulai 6 Juli 1982 oleh PT Kreabumi dari Bandung, dengan kontrak perjanjian No. 194/Banpres/7/82. Sedangkan nilai proyeknya saat itu adalah Rp 203.784.000. Asrama ini terdiri dari dua unit flat. Masing-masing memiliki empat lantai. Sedangkan tanahnya seluas 5868 m2 adalah milik UGM," jelas Budiman, staf Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (PPA) UGM, di kantornya, Senin (1/5), sembari memperlihatkan dokumen teknis Asrama Cemara Lima.
Sepanjang ingatan Pak Budiman yang saat itu bertugas sebagai pengawas lapangan pembangunan asrama, semula Asrama Cemara Lima akan dikembangkan menjadi delapan unit. Tetapi dia tak tahu mengapa rencana itu tak pernah menjadi kenyataan dan malah mandeg di tengah jalan. Dia juga tak tahu mengapa penyerahan fisik bangunan asrama kepada UGM dilakukan oleh Abdul Gafur, Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (Menpora) pada masa itu.
"Dulu, rencananya mau diresmikan oleh Pak Harto (Presiden Suharto, red) karena asrama ini merupakan bangunan percontohan. Makanya, universitas lantas melakukan pengaspalan jalan segala," kata Pak Budiman sembari menambahkan, UGM melengkapi Cemara Lima dengan fasilitas pendukung seperti, tempat parkir, lapangan olah raga berikut peralatannya, dan menara air.
Namun, seperti diutarakan Suwarjo SH, mantan Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan UGM, pembangunan Asrama Cemara Lima sesungguhnya bertujuan untuk menghidupi koperasi mahasiswa (Kopma). Itu sebabnya, sejak awal pengelolaan asrama ini diserahkan kepada Kopma UGM, dan bukan oleh universitas seperti halnya pada Dharma Putra dan Ratnaningsih.
"Itu memang untuk ngurip-uripi Kopma. Sama seperti yang kita lihat di universitas lain seperti UNS misalnya, asrama mahasiswanya juga dikelola oleh Kopma. Ya diurip-uripi-lah," papar Pak Warjo ketika ditemui di ruang kerjanya, UPT Perpustakaan UGM, Selasa (9/5).
Namun sepanjang ingatan Pak Warjo, pengelolaan Cemara Lima oleh Kopma UGM tak berlangsung lama. Hanya dalam rentang waktu sekitar tahun 1984 sampai dengan tahun 1988/1989 saja. "Mungkin karena Kopma tak bisa lagi mengelolanya. Waktu itu, banyak mahasiswa, warga asrama, yang mbeling. Dan kondisi fisiknya juga sudah rusak. Lalu ada tunggakan listrik dan air," katanya.
Tetapi, lanjut Pak Warjo, universitas tak serta merta menerima limpahan Cemara Lima dari Kopma UGM. Sehingga hampir 2-3 tahun lamanya asrama ini terkatung-katung nasibnya. Kondisi ini tak urung mengundang keprihatinan dari eks warga Cemara Lima. Mereka pun menawarkan diri untuk mengelola asrama. "Tapi terus ndak jadi setelah melihat kondisi asrama yang rusak. Kamar mandinya bocor," paparnya.
Akhirnya UGM memutuskan untuk merehabilitasi Cemara Lima. Rehabilitasi ini dilakukan bergantian dengan dua asrama lainnya, yakni Dharma Putra dan Ratnaningsih, dengan dana OPF. Sedangkan rehabilitasi kamar mandi dilakukan dengan menggunakan dana universitas.
Dari aspek teknis bangunan, jelas Pak Budiman, Cemara Lima memang berbeda. Itu sebabnya warga kampus menjulukinya sebagai bangunan eksperimen. Bagian dinding dan lantai bangunannya tidak menggunakan batu bata melainkan bermis. Yaitu, menggunakan campuran PC dengan batuan pumice, dengan perbandingan 1:9, dan menggunakan sistem precast. "Keuntungan bermis adalah ringan. Tapi ia tidak kedap air seperti beton," jelasnya.
Hal ini menyebabkan pengecoran pada dinding dengan lantai maupun kolom menjadi tidak sempurna. Masing-masing seperti berdiri sendiri-sendiri. Inilah yang menjadi sumber kebocoran di kamar mandi maupun area dapur. Sedangkan bagian lantai, yang dilapis seng, akhirnya juga karatan. "Oleh universitas sebagian diperbaiki dengan cor beton biasa. Hubungan kolom dengan lantai dibuat seperti tanggul. Tapi ini pun masih belum bisa dikatakan sempurna. Kebocoran tetap masih ada," papar Pak Budiman.
Sunarto S.Sos, Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan UGM, juga mengakui bahwa dari segi bangunan, Cemara Lima memang kurang kuat. Dia mengingat pada tahun 1996-1997, universitas pernah merenovasi kamar mandi dan atap. Saat itu, beberapa warga asrama dipindahkan ke Dharma Putra. "Besi-besinya tidak di-lepo sehingga jika terkena air hujan lalu korosi," katanya, di ruang kerjanya, Rabu (3/5).
Upaya renovasi Cemara Lima akhirnya seperti tambal sulam. Itu sebabnya, lanjut Pak Narto, saat ini UGM membentuk sebuah tim dari Fakultas Teknik UGM untuk melakukan studi kelayakan terhadap Cemara Lima. "Rekomendasi dari FT inilah yang akan dipakai oleh universitas. Jadi akan ada, mana bagian yang layak dan mana yang tidak. Kalau soal dana rehabnya, harus ada RKAT di unit kerja," jelasnya.
Populer
Lepas dari kerusakan di sana-sini, asrama ini cukup populer di kalangan mahasiswa UGM. Dra. Nurzani Indrawati, Manajer Asrama UGM, mengakui minat mahasiswa untuk tinggal di Cemara Lima lebih besar bila dibandingkan dengan Dharma Putra. Jarak tempuh ke kampus yang relatif dekat adalah salah satu alasan yang biasa dikemukakan.
"Tapi, dengan kondisi seperti sekarang ini, terpaksa kami tidak bisa menerima penghuni baru. Kami sangat khawatir dengan keselamatan mereka. Hingga Mei ini, tinggal 51 mahasiswa yang ada di sana. Uang asramanya Rp 200 ribu per tiga bulan," jelas Bu Nurzani.
Tata ruang yang representatif juga menjadi alasan lainnya. Setiap flat terdiri dari 16 unit. Masing-masing lantai terdiri dari empat unit. Setiap unit berukuran 6 x 9 m dan memiliki tiga kamar tidur (masing-masing berukuran 3 x 3 m), ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi + WC dan ruang jemuran. Setiap kamar tidur dirancang dihuni untuk satu orang. Bayangkan privacy yang ditawarkan di sana.
"Model seperti itu, sebenarnya kurang tepat jika diperuntukkan bagi mahasiswa S1. Kontrolnya jadi ndak mudah. Nuansa kekeluargaannya pun jadi kurang. Seharusnya ada pengawas yang tinggal di sana," kata Bu Nurzani.
Pak Wardjo pun kembali mengenang berbagai ke-mbeling-an warga Cemara Lima, tempo dulu. Soal perkelahian pengawas dengan anak asrama, ada yang memelihara anak-anak anjing untuk dijual lagi, ada pula yang beternak ayam, lalu ada penghuni yang enggan meninggalkan asrama meski telah berkeluarga atau lulus. "Saya adalah sejarah. Kalau saya keluar, nanti cerita asrama ini terputus .... Mahasiswa selalu saja punya 1001 alasan untuk berkelit," kenang Pak Wardjo.
Ketika badai krisis menerpa Indonesia 1998 lalu, menurut Pak Wardjo, UGM membantu penghuni Cemara Lima dengan mengirim beras dan membantu mencarikan beasiswa. "Saat itu, ada penghuni yang sampai tidak bisa makan. Mereka hanya makan daun-daunan. Ada pula yang sampai 26 bulan nunggak iuran asrama. Universitas pun akhirnya turun tangan, membantu mereka," kenangnya.
Tapi, tak selamanya asrama mahasiswa beraroma kisah tak sedap. Belum lama ini, lima warga Cemara Lima, yakni Margianto, Sunarso, Sulthons Andis Sahara, Dodi Indra, dan M Pantas Ardiansyah, berhasil menorehkan prestasi emas. Menamakan diri, Tim Burjo Jaya UGM, mereka berhasil menyabet penghargaan tertinggi Innovative Entrepreneurship Challenge di ITB, lewat karya "Bubur Kacang Ijo Instan".
Sumber :
Kabar UGM Online
Edisi 57/IV/22 Mei 2006